Minggu, 04 September 2011

Kebahagiaan Itu Relatif...


Apakah sesungguhnya kebahagiaan itu ?
Apa yang membuatmu jadi bahagia ?



Bahagia itu relatif.
Ada yang bahagia saat rekening tabungan mencapai angka miliaran rupiah. Ada yang bahagia saat duduk di kursi wakil rakyat. Ada yang bahagia saat dapat memperistri wanita pujaan hati. Ada yang bahagia saat putra-putrinya beroleh nama yang harum. Ada yang bahagia karena berusia panjang dan beroleh kesehatan yang bagus. Ada pula yang bahagia saat tinggal di desa yang indah, tenang, aman, tentram dan damai.


Namun sadarkah engkau bahwa pencapaian kebahagiaan itu berpijak pada tanah yang labil ? Siapa yang menyangka jika ternyata rekeningmu dibobol hacker. Siapa yang menyangka jika kemudian engkau diusik dan dikejar-kejar oleh KPK. Siapa menyangka jika ternyata istri atau suami pujaan hatimu selingkuh. Siapa yang menyangka jika tiba-tiba anak-anakmu meninggal dunia. Demikian pula, siapa yang menyangka bahwa desamu yang indah dan permai tertimbun longsor dan bergoncang akibat gempa.
Hal yang menjadi kebahagiaanmu ternyata dapat dengan mudah menjadi hancur berkeping-keping.
Apa yang kemudian hendak kau lakukan ? Meratap tak berkesudahan ? Mengharap kebahagiaan baru yang serupa ? Maka (mungkin) suatu saat nanti kau akan kembali menemukan kenyataan pahit atau bahkan lebih pahit. Jika kau dapat lolos ujian kemarin, tidak mustahil bahwa ujianmu yang akan datang akan lebih sulit. Maka kau akan kembali meratap seperti dulu, meski (mungkin) dengan versi soal yang berbeda.


Akan terus demikian, sampai pada akhirnya kau menemukan kebahagiaan sejati. Kepasrahan tertinggi bahwa keberadaanmu semata-mata karena kehendak-Nya. Tiada lagi harapan, tiada lagi keinginan, tiada lagi hasrat duniawi – saat kehendak pribadimu telah meluruh menjadi kehendak-Nya atas dirimu. Lepaskan kesibukanmu sebagai subyek. Pasrahkan dirimu sebagai obyek. Biarkanlah tangan-Nya sendiri yang menuntun dan membimbingmu pada jalan misteri yang tak pernah kau ketahui, melainkan Dia Yang Maha Mengetahui. Siapkanlah dirimu dengan kejutan-kejutan manis dan kebaikan-kebaikan yang sebelumnya sama sekali tak pernah kau bayangkan. Terimalah rahmat itu karena engkau memang layak mendapatkan. Dan temukanlah, bahwa dirimu telah mendapatkan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang tak lagi goyah oleh kematian, bencana, musibah, kehilangan, dan lain-lain.
Setidaknya, itulah beberapa rangkuman dan simpulan dari sebuah karya besar seorang wali yang kebaikan dan kemuliaannya memancar ke seluruh penjuru dunia — Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Kitab Futhuuhul Ghaib ini adalah salah satu lentera bagi jiwa-jiwa yang mendalami tasawuf, jalan sufi, atau sekedar dalam pencarian untuk menemukan kesejatian.

Sesungguhnya, kebahagiaan sejati nan hakiki adalah ketika jiwamu, ragamu, kehendakmu sekaligus keputusasaanmu menyerukan ‘Tiada tuhan selain Allah’. Kendati demikian, pencapaian itu pun tidaklah sederhana, melainkan melalui segenap proses yang tidak mudah dan kekuatan jiwa. Pengorbanan dan harga mahal dari pemantapan rohani tersebut akan membawamu menemukan kebahagiaan hakiki.

Maka sesungguhnya ujian keimanan itu tak patut ditakuti jika engkau berpedoman teguh pada jalan kebenaran-Nya. Musibah, bencana, kehilangan, kesedihan, dan kepedihan adalah alat pemancing dari-Nya untuk menggiringmu pada karunia-Nya yang lebih besar. Begitulah kebenaran yang disampaikan oleh Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, pun dalam penggambarannya :
“….Bila ia melihat keadaan-keadaan lahiriahnya, maka ia melihat hal-hal yang buruk baginya. Bila ia melihat hati dan jiwanya, maka ia melihat hal-hal yang menyedihkannya. Jika ia memohon kepada Allah untuk menjauhkan kesulitannya, maka permohonannya itu tak diterima. Jika ia memohon janji baik, ia tak segera mendapatkannya. Jika ia berjanji, ia tak tahu tentang pemenuhannya. Bila ia bermimpi, ia tak bisa menafsirkannya dan tak tahu tentang kebenarannya. Bila ia bermaksud kembali kepada manusia, ia tak mendapatkan sarana untuk itu. Bila ada sesuatu pilihan baginya dan ia bertindak berdasarkan pilihan itu, maka ia segera tersiksa, tangan-tangan orang memegang tubuhnya, dan lidah-lidah mereka menyerang kehormatannya. Bila ia hendak melepaskan dirinya dari keadaan ini, dan kembali kepada keadaan sebelumnya, ia gagal. Bila ia memohon agar dikurniakan pengabdian, ketercerahan dan kebahagiaan di tengah-tengah musibah yang dialaminya, permohonannya itu pun tak diterima. Maka, dirinya mulai meleleh, hawa nafsunya mulai sirna, maksud-maksud serta kerinduan-kerinduannya mulai pupus, dan kemaujudan segala suatu menjadi tiada. Keadaannya ini diperpanjang dan kian hebat, hingga sang hamba berlalu dari sifat-sifat manusia. Tinggallah ia sebagai ruh. Ia mendengar panggilan jiwa kepadanya….”
Maka janganlah bersedih… Jangan kau anggap bahwa segala yang menghempaskanmu tak memiliki arti dan maksud sedikit pun. Dia bermaksud hendak memberikan kebahagiaan sejati padamu. Maka terimalah cara-Nya yang unik dengan lapang dada. Jangan pernah berhenti untuk berdoa meski doamu takkan pernah dikabulkan dan segala keburukan menimpamu bertubi-tubi. Dia memerintahkanmu untuk berdoa, supaya engkau selalu mengingat-Nya. Pada saatnya nanti, manusia akan dibuat terheran-heran oleh amal-amal yang ia rasa tak pernah dikerjakannya. Itulah buah dari doa-doamu yang tak terkabul di dunia. :)





Sepanjang engkau masih terpikat oleh kebahagiaan-kebahagiaan lain selain-Nya, maka Dia takkan pernah berhenti untuk terus menggemblengmu berulang-ulang melalui ujian-ujian kehidupan.
Mari songsong kebahagiaan kita, kawan!

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen Dulu Gan^^