Minggu, 04 September 2011

Masyarakat Kita Tidak Konsisten


Betul tidak ,apa yang saya katakan ?
Apakah engkau marah ? Apakah engkau tersinggung ?
Syukurlah…. Saya memang berharap supaya engkau marah dan tersinggung jika saya katakan demikian. Namun jika engkau tak merasakan apapun, bahkan malah cengingas cengingis, maka memang benarlah kenyataan yang saya ungkapkan diatas. Kita ini memang 

benar-benar bangsa yang tidak menghargai komitmen.







Inspirasi menulis ini terbetik ketika pada suatu hari, saat saya sedang (dengan sabarnya) menunggu lampu merah yang beranjak hijau, tiba-tiba sebuah motor di belakang saya berlalu begitu saja tanpa mengindahkan sedikit pun arti dan fungsi dari lampu merah. Mirisnya, pengendara motor seperti itu tak hanya satu. Melainkan banyak, dan seringkali saya jumpai. Sampai-sampai adakalanya saya jadi skeptis dan apriori sendiri; apakah karena disini kota kecil, jalanan sepi pula, sehingga pengguna jalan berlaku seenak perutnya sendiri. Jika saya lihat dan perbandingkan, di kota besar jarang terjadi hal-hal demikian, karena pelanggaran seperti itu dapat berakibat fatal, — pun keberadaan polisi lebih banyak. Atau… apakah karena daya pikir dan kualitas manusianya yang masih rendah, sehingga arti dan fungsi lampu lalu lintas saja tidak paham…? Jadi tak salah dong, kalau orang kota lebih pintar dari orang desa… Maaf, jika saya sempat berpikir demikian…
Untuk urusan sekecil ini saja kita tak pernah becus mentaati, menjalankan, dan meneladaninya. Bagaimana mungkin menuntut untuk menjadi bangsa yang besar ? Bangsa yang bermartabat pula… Ah, itu hanya omong besar belaka. Nyatanya, martabat kita masih benar-benar rendah. Jangan membual dan ber-omong besar tentang martabat bangsa, sementara kau tidak paham betul apa arti martabat.

Sesungguhnya aturan pun adalah suatu bentuk komitmen. Dalam menjalankan segala segi kehidupan, kita harus memerlukan komitmen. Alasannya, karena kita tidak tinggal dan hidup sendirian di bumi ini. Masih ada manusia lain, mahluk lain, bahkan alam dan beserta isinya pun merupakan bagian-bagian dimana kita perlu saling menjalin komitmen. Tujuan komitmen selalu baik – jika itu dilandasi dari hati nurani; yakni untuk menciptakan sebuah keadaan yang aman, adil, tentram, sentausa, dan bahagia.
Namun diantara bagian-bagian yang merupakan faktor luar tersebut, sesungguhnya yang justru paling penting, sekaligus menjadi dasar dari segala komitmen adalah berkomitmen pada diri sendiri. Andai saja komitmen adalah sebuah janji, maka penuhilah janji tersebut. Andaikan komitmen adalah sebuah ikatan, maka hargailah ikatan tersebut. Seharusnya demikian, bukan ? Engkau pasti sudah hapal dan dapat menjelaskan dengan lancar, bagaimana jika komitmen tersebut dilanggar atau diabaikan.




Sekedar berfilosofi dan beretorika memang jauh lebih mudah dilakukan. Namun sejauh ini, praktek menjalankan komitmen, terutama bagi bangsa kita hanyalah sebuah nol besar belaka. Jangan dulu protes, bahwa engkau tidak termasuk diantaranya. Saya hanya sekedar menggunakan random sampel mayor – dan dalam menarik kesimpulan, minoritas tak pernah dihitung.
Andaikan memang benar bangsa kita menghargai komitmen, maka korupsi tidak akan pernah ada. Saya selalu merasa muak melihat para tikus negara itu. Jika kita memang benar-benar menghargai komitmen, seharusnya kita akan selalu ingat dengan sumpah jabatan yang pernah terucap saat diamanahi sebuah posisi dalam struktur. Namun nyatanya, kini sumpah jabatan hanya sekedar ritual tiada arti. Sebuah simbolisme yang kata per katanya wajib dihapal supaya kelihatan gagah dan mengesankan. Nah, masih ingatkah engkau dengan sumpah jabatan yang pernah engkau ucapkan dulu ? Benarkah sumpah tersebut terpatri kuat dalam jiwa dan ingatanmu ? Tak perlu banyak membantah jika ternyata kau telah melakukan satu – dua kali kesalahan dan mengabaikan sumpah jabatan (omong kosong) itu.
Berapa banyak aturan-aturan yang sudah jelas wujud dan keberadaannya, namun telah kita langgar tanpa ada rasa bersalah sedikitpun ? Ada yang berdalih, semakin dilarang semakin menerjang. Yeah… itulah dalih manusia-manusia (tamak dan jauh dari rasa syukur). Wong yang sudah jelas saja tidak diindahkan, apalagi yang tidak jelas alias tidak tertulis, alias tak memiliki sanksi langsung… Padahal banyak pula aturan-aturan yang juga merupakan komitmen, meski ini adalah semacam kebijaksanaan diri. Misalnya, komitmen kita pada alam sekitar. Apa yang kita ketahui dari sebab akibat yang ditimbulkan oleh perusakan alam ? Kita bahkan dapat menyebutkannya dengan detil dan begitu mengesankan. Namun mengapa masih terjadi banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, dan sebagainya ? Jika kita tak berulah, maka alam pun masih menghormati kita. Saat ini, kita pun bahkan sudah tak memiliki arti terhadap alam. Seolah-olah alam telah meludahi dan menyepelekan kita. Ah, betapa sombong dan angkuhnya manusia, padahal kemampuannya ternyata sama sekali tak seberapa… ‘Digoyang’ sedikit saja, lagu-lagu Ebiet G Ade sudah berdengung dimana-mana.






Jika kita memang bagian bangsa yang menghargai komitmen, maka tidak akan ada kasus perceraian, perselingkuhan, apalagi mempermalukan diri sendiri dengan mempertontonkan aurat dan aib sendiri. Siaran infotainmen pasti akan menjadi membosankan. Lupakah mereka pada janji setia sehidup semati yang diucapkan saat menggiring cincin di jari manis ? Mereka telah benar-benar amnesia.





Jangankan berpikir tentang memenuhi komitmen dengan pihak-pihak lain, maka kita pun tak akan pernah dapat memenuhi komitmen dengan Tuhan. Padahal Tuhan lebih menyukai komitmen. Eksistensi perintah, larangan, dan janji surga adalah wujud komitmen Tuhan dengan manusia. Namun manusia lah yang tidak menyukai komitmen. Lebih senang hidup seenak perut sendiri. Enggan dengan tanggung jawab dan konsekuensi, tapi maunya terus-menerus diguyur kompensasi. Mereka yang tak menyukai komitmen adalah mereka yang senyatanya ingin hidup sebagai parasit yang menghisap keuntungan dan kesenangan pribadi tanpa pernah memikirkan inang. Mereka yang tak menyukai komitmen adalah mereka yang (seharusnya) tak berhak hidup dengan mencecap rahmat. Well… hidup ini tidak sebebas yang kau kira, kawan… Semuanya memiliki interaksi. Saling mengawasi. dan kita pun selalu diawasi.


Kita memang bangsa yang tak punya malu sama sekali. Sangat pintar mengumbar tuntutan dan ketidakpuasan, namun selalu mengelak kewajiban. Melihat dan mengkaji sesuatu hanya dari sekilas pintas, enggan merunut masalah dari akarnya. Senang dengan kehebohan yang spektakuler dan menyilaukan, enggan menyentuh tanah, merendahkan hati. Kalau dipersalahkan, hal pertama yang dilakukan justru mencari alibi dan sekutu. “Tidak saya saja!!! Tidak hanya saya saja!!!” – itulah teriakan yang seringkali mereka ucapkan. Bisakah engkau membayangkan, andai seluruh manusia bersikap demikian, apa jadinya bumi ini…? Untunglah masih ada golongan minoritas… 


Mengapa harus muak dan prihatin dengan keadaan bangsa kita yang seperti ini ? Jangan lah sedikit-sedikit menyalahkan atau menghujat orang atau pihak lain. Kita pun bahkan seringkali bersikap dan berlaku salah pada beberapa instansi, beberapa orang, atau bahkan pada pasangan kita sendiri. Benahi dulu diri sendiri terlebih dahulu sebelum bermimpi terlampau tinggi. Satu-satunya cara untuk mewujudkan mimpi(mu) yang indah adalah tegas dan patuh pada komitmen. Dan komitmen bukan hanya sekedar soal kepentingan… melainkan rasa penghargaan satu sama lain….
Mari menghargai komitmen, mari menyongsong diri menjadi bangsa yang besar….

(+) Artikel teman yang telah di edit sedikit, di tambahkan sedikit pengalaman pribadi 


Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen Dulu Gan^^